Inilah keuntungan dari menyewa motor selama berada di Samosir alih-alih
menggunakan kendaraan umum. Kalau ada objek wisata yang “tidak
disangka-sangka” di tengah jalan, saya bisa dengan mudah memutuskan
untuk berhenti dan melihat-lihat. Rasanya, kemudahan ini nggak akan
didapatkan dengan menaiki kendaraan umum dech. Apalagi, harus menyetop
kendaraan yang melaju dengan cepat, lokasi sekitar nggak kelihatan dari
dalam, dan harus membayar biaya angkot. Biaya angkotnya sich nggak
seberapa. Untuk jarak dekat dari Tomok palingan biayanya Rp. 2.000 – Rp.
3.000 saja. Tapi males juga khan kalau setiap ketemu objek wisata yang
unik harus berhenti dan membayar biaya angkot? Mendingan sewa motor kan?
Capek sedikit karena mengendarai motor sich tapi terbayar dengan
kemudahan berhenti di banyak tempat lho. Apalagi, sepanjang perjalanan
di Samosir banyak sekali tugu-tugu makam yang unik. Kalau anda menyukai
tugu-tugu unik dan bangunan ajaib, mungkin disinilah tempatnya.
Saya sebenarnya sudah melewati tempat ini di kala malam hari. Namun,
karena tidak memiliki penerangan apapun, maka makam ini tidak terlihat
sama sekali. Pada siang hari, barulah saya menyadari apa yang saya
lewati ini. Ini adalah Makam Ompu Raja Matio Sidabutar. Tulisan di
sebelah pintu gerbang adalah Tugu Omp. Raja Matio Sidabutar. N.M. Br.
Harianja. dohot : Pinomparna. Mm...sebentar...Sidabutar lagi? Iya,
tampaknya ini adalah makam lain dari Raja Sidabutar yang berkuasa di
Tomok. Agak berbeda dengan Makam tua Raja Sidabutar yang berada di dekat
Pasar Tomok, makam ini tidak terlalu ramai dikunjungi, malah tampaknya
saya dan teman sayalah pengunjung satu-satunya pada hari itu! Ya, dengan
posisinya yang berada di belokan di pertengahan antara Tomok dan
Tuk-Tuk Siadong, rasanya makam ini akan dengan mudahnya terlewatkan.
Seperti yang saya bilang tadi, kalau naik angkot, mungkin orang akan
malas berhenti-berhenti kali yach? Pintu gerbang makam ini pun setengah
tertutup. Saya jadi bertanya-tanya, apakah legal memasukinya? Teman saya
tidak ikut masuk karena dia tidak menyukai makam yang benar-benar
makam. Apalagi saat itu hanya kamilah pengunjung makam ini. Makin jiper
lah dia. Hihihi.
Karena
penasaran dan tanggung, akhirnya saya nekad memasuki kompleks makam
yang tampaknya tua ini. Kondisi cat bangunan memang tampaknya telah
termakan usia dan cuaca cukup banyak. Maklum lah, cat aslinya warnanya
kan putih. Penapilan fisik makam ini adalah putih dengan bopeng dan
keropeng disana-sini. Namun, benda tertua yang ada di kompleks ini
bukanlah bangunan makam melainkan sebuah sarkofagus yang mirip bentuknya
dengan sarkofagus di Makam Tua Raja Sidabutar di Pasar Tomok
sebelumnya. Saya tidak menemukan referensi apapun mengenai Raja Matio
Sidabutar di belantara internet sama sekali. Di kompleks ini pun, tidak
ditemukan satu informasi apapun mengenai sejarah orang ini. Sayang
sekali. Berhubung hanya satu makam yang resmi diakui dan dibuat plang
resmi oleh dinas pariwisata daerah Sumatera Utara, maka saya
berkesimpulan sendiri bahwa Raja Matio Sidabutar ini adalah keturunan
dari Raja Asli Sidabutar yang pertama kali menjejakkan kaki di Tomok
ini. Walaupun keturunan, namun bahan sarkofagus yang digunakan tampaknya
sudah berbeda dengan Makam Tua Raja Sidabutar yang berada di Pasar
Tomok (walaupun masih berupa makam batu tanpa sambungan dan tampaknya
masih menganut Pelebegu). Alih-alih batuan andesit, makam ini terbuat
dari batu yang lebih modern dengan warna coklat kekuningan. Bagian yang
tampaknya termakan jamur hanyalah bagian kepala sarkofagus yang diukir
dengan bentuk muka, yang konon menyerupai sang almarhum yang dikuburkan
di dalamnya. Sarkofagus ini berada di atas tanah, di bawah semacam
bangunan tanpa dinding dengan atap khas Ruma Bolon Batak Toba. Bangunan
ini sudah terbuat seutuhnya dari semen, penuh dengan hiasan cecak dan
singa yang menyeringai menyeramkan di pojok-pojok bangunan. Nggak
kebayang kalau malam-malam ada di makam ini. Hiii...
Nah,
di sebelah bangunan bersarkofagus ini persis ada sebuah bangunan makam
yang jauh lebih modern. Makam orang Batak modern biasa mengusung bentuk
Ruma Bolon, baik yang kotak sederhana atau yang seperti ini, bertingkat.
Dari kemegahan bangunannya, saya sich percaya, keluarga Raja Sidabutar
dan keturunannya adalah orang terpandang di Tomok ini. Selayaknya makam,
ada sejumlah lubang-lubang yang tampaknya tempat menguburkan jasad
mereka yang telah tiada. Jujur saja, saya sich tidak tertarik sama
sekali untuk melongok ke dalam lubang-lubang tersebut. Hihihihi. Nah, di
depan lubang-lubang yang diberi teralis tersebut ada sejumlah salib
yang diberi nama para almarhum. Menariknya, semua yang meninggal di
makam ini adalah mereka yang meninggal di penghujung abad 20 hingga awal
abad ke 21. Padahal Raja Sidabutar ini menginjak Tomok beratus-ratus
tahun yang lalu loch. Artinya, kemungkinan besar yang dimakamkan di
tempat ini adalah keturunannya yang kesekian. Dari empat mendiang yang
disemayamkan di tempat ini, hanya dua yang masih menyandang boru
Sidabutar. Lainnya, sudah menyandang boru Manik dan Naibaho. Salib-salib
ini menunjukkan bahwa mendiang telah memeluk agama nasrani, apalagi
dengan hiasan salib di pintu persemayaman jenazah. Di setiap salib ada
tulisan Tubu, Dison Do Maradian, dan Monding yang masing-masing berarti
“lahir”, “meninggal dalam damai(rest in peace)”, dan “meninggal”.
Menariknya, bangunan ini memiliki 3 lantai. Entah apa yang merasuki saya
tapi saya penasaran untuk naik ke puncak makam. Apalagi, makam ini
memiliki akses tangga yang ternyata mudah didaki (mungkin untuk
memudahkan peziarah kali yach?). Ya, pertama sich saya sempat ragu untuk
naik. Naik nggak yach? Gimana kalau ada yang nggak-nggak di atas sana?
Hihihi. Pikiran semacam itu berkecamuk di pikiran saya lantaran
ketiadaan pengunjung makam tersebut. Teman saya bahkan tidak berani
memasuki kompleks makam dan berjaga di luar saja. Artinya, hanya saya
sendiri yang memasuki makam tersebut sendirian. Yah, akhirnya karena
rasa penasaran jauh lebih dashyat daripada rasa takut, alhasil saya
memberanikan diri untuk menaiki kompleks makam ini. Hohohoho.
Di atas sana, nggak ada yang aneh sih. Selain ada lubang-lubang untuk
persemayaman terakhir jenazah, nggak ada hal aneh yang patut ditakuti.
Yang paling menyeramkan selain lubang-lubang tersebut mungkin hanyalah
arsitektur makam yang penuh dengan ukiran Batak yang berwajah sangat
ekspresif dan enigmatik. Secara mengejutkan pula, kondisi lantai atas
makam cukup bersih dan tidak ada penumpukan sarang hewan secara
berlebihan. Mungkinkah karena makam ini sering diziarahi sehingga cukup
rutin dibersihkan? Padahal, ekspektasi saya adalah terdapat sejumlah
sarang laba-laba besar yang cukup menakutkan. Nah, di lantai dua ini,
saya tiba-tiba ragu kembali untuk naik ke puncak tertinggi. Namun,
karena sudah kepalang tanggung, saya memaksakan diri untuk menaiki makam
hingga ke lantai tertinggi. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya
menyapa teman saya yang berjaga di jalan raya untuk memastikan bahwa
saya baik-baik saja. Hehehe. Di puncak tertinggi, tidak ada sesuatu yang
mengesankan selain pemandangan Tomok dari ketinggian. Mungkin makam ini
adalah salah satu dari bangunan Tomok yang bisa melihat Tomok dari
ketinggian. Dari kejauhan pun, Kota Parapat dan resort-resortnya cukup
tampak jelas terlihat. Hehehe. Fakta ada sebuah lubang lain di bagian
puncak makam dan bentuk atap Ruma Bolon yang berukir unik dan eksotis
pun tidak mampu mengalihkan pemandangan cantik tersebut dari tempat ini.
Saya kembali melambai-lambaikan tangan kepada teman saya untuk
memberitahukan bahwa saya baik-baik saja. Hehehe.
Secara keseluruhan, makam Raja Matio Sidabutar ini terawat dengan rapih
dan tergolong cukup baru. Untuk makam baru, semua lantainya tertutup
dengan keramik loch, bukan sekedar semen saja. Kesan tidak rapih baru
terasa di halaman kompleks makam yang didominasi oleh rerumputan besar
dan panjang yang tidak terurus. Padahal saya telah berkeliling
bolak-balik, naik-turun makam namun tiada seorang pun penjaga atau
petugas yang mendatangi saya atau seorang pun yang sekiranya berjaga di
tempat ini. Hihihi. Saya sich nggak yakin-yakin banget bahwa ini adalah
objek wisata untuk umum. Namun, menilik dari kondisi pintu gerbang yang
setengah tertutup (atau terbuka?), nggak salah donk saya mengasumsikan
bahwa masuk makam ini adalah hal yang diijinkan? Kalau anda berjalan
dari Tomok menuju Tuk-Tuk Siadong, coba dech perhatikan posisi makam ini
yang berada tidak jauh dari Makam Tua Raja Sidabutar yang sebenarnya.
Posisi makam ini bahkan berada tepat di pinggir jalan sehingga yang naik
angkutan umum pun pasti bisa melihat dengan jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar