Tuk-Tuk Siadong, adalah semenanjung yang terletak di sebelah timur Pulau
Samosir. Semenanjung kecil ini terletak diantara Desa Tomok dan Desa
Ambarita. Kalau anda nggak perhatian banget dengan kondisi jalan,
mungkin anda akan melewatkan wilayah ini. Alasan utama orang melewatkan
wilayah ini tentunya karena ketiadaan sarana angkutan publik yang menuju
Tuk-Tuk Siadong. Ya, angkutan umum lintas Samosir dari Tomok sampai
Pangururan dan kembali sama sekali tidak melewati Tuk-Tuk Siadong. Oleh
Karena itu, saya memutuskan untuk berjalan kaki mencapai Tuk-Tuk Siadong
dari Pelabuhan Orang Tomok daripada menggunakan alternatif lain yang
harganya lebih mahal. Pilihan lainnya hanya berupa : ojek, atau mobil
carteran. Toh, jaraknya dekat, hitung-hitung sambil menyelami kebudayaan
setempat (pada malam hari) hihihi.
Tuk-Tuk Siadong terkenal karena “keturisannya”. Yap, pertama kali
memasuki kawasan ini, setelah menembus
perbukitan-dan-sawah-entah-dimana, saya terkejut karena saya tiba-tiba
teringat pada Bali atau lebih spesifik lagi : Legian dan Kuta. Betul,
tempat ini nggak ubahnya kawasan Legian yang tersohor di Bali. Di saat
wilayah lain di Samosir sudah menurun aktifitasnya selepas matahari
terbenam, di Tuk-Tuk, roda kesibukan berputar hampir 24 jam lamanya.
Tengah malam sekalipun, kalau anda kelaparan dan ingin menikmati
makanan, anda bisa berkunjung ke warung-warung yang tersedia. Inilah
rasa dan konsekuensi kawasan internasional di Tanah Samosir. Selain
harga-harga penginapan dan makanan yang mengikuti standard turis asing,
penduduk lokalnya (terutama pegawai hotelnya) jauh lebih fasih berbahasa
Inggris daripada bahasa Indonesia ataupun Batak. Ngeliat tampang saya
aja, mereka segera berceloteh dalam bahasa Inggris (sialnya, bahasa
Inggris mereka kayaknya jauh lebih bagus daripada saya, walaupun
tercampur dengan aksen Batak).Hahaha. Kalah dech.
Kawasan
semenanjung sepanjang 4 KM ini memang menarik. Selain penginapan dan
restoran, segala macam kebutuhan turis dapat ditemukan di tempat ini.
Sebut saja warung internet, warung kelontong, toko souvenir, hingga
diskotik pun bisa ditemukan disini. Nggak cuma buat senang-senang saja,
ada museum souvenir Batak, puskesmas untuk turis dan warga (tapi waktu
itu malah didominasi oleh warga lokal), dan polisi setempat, serta
gereja. Walaupun Tuk-Tuk Siadong dan Tano Batak terkenal akan
ke-nasrani-annya, sehingga mereka terbuka terhadap konsumsi daging
apapun, namun anda yang muslim nggak usah kuatir. Ada sejumlah rumah
makan Muslim yang buka di tempat ini loh. Tulisan “Islam”nya pun cukup
jelas terlihat dan mengindikasikan bahwa mereka nggak menjual daging B1
dan B2.
Ngomong-ngomong soal penginapan, kalau misalnya anda punya beberapa hari
di Tuk-Tuk Siadong untuk menjelajahi keseluruhan Samosir, sebaiknya
anda menginap hanya di semenanjung ini saja. Alasannya kenapa? Tuk-Tuk
Siadong ini terkenal dengan koleksi hotel, penginapan dan resortnya.
Penginapan di tempat ini, walaupun cukup bersaing harganya, namun
kualitasnya boleh diadu dan diacungi jempol. Untuk keseluruhan Samosir,
penginapan terbaik berlokasi di wilayah ini. Bahkan, untuk keseluruhan
Sumatera Utara, Tuk-Tuk Siadong dapat disejajarkan dengan Medan loch.
Penginapan di Tuk-Tuk berjejer sejauh jalan raya sepanjang 4 KM yang
mengelilingi semenanjung ini. Di luar dari jalan raya 4 KM ini, Tuk-Tuk
Siadong terhubung dengan Tomok di Bukit Beta Garoga dan Ambarita di Batu
Parsidangan.
Berhubung hampir 24 jam, ada saja aktifitas yang bisa dilakukan di
seputaran Tuk-Tuk Siadong ini loch. Kalau pagi, banyak sekali turis
asing yang sedang jogging pagi, bersepeda atau berkeliling naik sepeda
motor mengelilingi semenanjung ini. Berhubung semenanjung ini berhadapan
langsung dengan Danau Toba, maka lumayan banget dech, anda bisa
menyaksikan Danau Toba dari beberapa titik yang cukup tinggi di Tuk-Tuk
Siadong. Pada malam hari, beberapa penginapan menyajikan pagelaran musik
Batak, termasuk tari-tarian, nyanyian, dan bahkan terkadang
pertunjukkan Sigale-Gale loch. Bagus Bay adalah salah satu penginapan
yang menyajikan pertunjukkan ini. Lalu, agak masuk ke dalam semenanjung,
ada diskotik dan sejumlah bar buat anda yang suka sama kehidupan malam.
Hihihi.Dengan ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut,
iklim di tempat ini sejuk cenderung dingin (lupakanlah jaket tebal ala
gunung salju itu!). Namun, pada siang hari, jangan tanya! Panasnya terik
matahari juga membakar dan menyengat kulit saya.
Sayangnya, karena ke”turis”annya dan ke”internasional”annya ini, Tuk-Tuk
Siadong adalah tempat yang cukup komersil, terlampau komersil bahkan
dibanding tempat-tempat lain di Sumatera Utara ini. Tidak ada yang
benar-benar gratis di tempat ini. Semua ada harganya. Semua fasilitas
ada “label harganya”. Tidak terkecuali ketika saya mengembalikan motor
ke penginapan dan bermaksud untuk minta diantarkan ke depan kembali oleh
motor yang sama karena saya hanya mengambil barang-barang saya saja
yang ditinggalkan sebelumnya. Maksudnya, daripada saya berjalan kaki
sejauh 1 kilometer sambil memanggul barang bawaan yang banyak, kan
enakan diantar pakai motor untuk sampai ke tempat angkutan umum berada?
Ya ngga? Toh, motor tersebut sudah saya sewa sebelumnya untuk satu hari
dan dengan naik motor, perjalanan ke depan nggak sampai lima menit kan?
Nyatanya, tetap saja tidak ada ucapan “terima kasih” yang tulus disini.
Sambil protes, ia meminta tip karena telah mengantarkan saya hingga ke
depan. Akhirnya, saya berterima kasih karena telah diantarkan sambil
menyelipkan uang RP. 5.000 ke tangan staff tersebut, yang kemudian
diprotes karena hanya sebesar Rp. 5.000 saja. Huffff. Barulah ketika
ditambahkan Rp. 1.000 rupiah karena ia yang meminta, ia mengucapkan
terima kasih dan berpesan untuk datang kembali. ck ck ck. Buat
backpacker seperti saya yang benar-benar menghargai setiap rupiah yang
saya belanjakan, rasanya saya tidak menggemari budaya memberikan tip
dech. Yah…selamat datang di Tuk-Tuk Siadong kalau begitu :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar