Sumatera Utara adalah salah satu negeri dengan koleksi museum kebudayaan
terbanyak di Indonesia. Gimana nggak mau banyak coba, untuk museum
berkategori “Batak” sendiri saja ada beberapa dan tersebar di beberapa
kota dan kabupaten di Sumatera Utara ini.
Sebut saja, Museum Batak
Tomok, Museum Batak Tuk-Tuk Siadong, Museum Batak Huta Bolon Simanindo,
T.B. Silalahi Center, Museum Simalungun, Museum Karo Lingga, Balai
Budaya Batak Arjuna (koq namanya Arjuna sich?) dan Museum Rumah Bolon
Pematang Purba. Ini sendiri masih di luar Museum Negeri Sumatera Utara
yang memiliki koleksi kebudayaan Nias dan Melayu, serta Museum Pusaka
Nias yang terletak di seberang lautan sana. Buat penjelajah dan penikmat
kebudayaan Batak, rasanya kurang banget yach kalau berkunjung ke Tano
Batak tapi nggak mencoba setidaknya satu museum kebudayaan Batak yang
ada disini. Salah satu yang bisa dikatakan boleh (dan wajib) kunjung
adalah Museum Batak yang terletak di Desa Tomok.
Hahaha.
Tahun
2007, saya melewatkan Museum Batak Tomok ini karena keterbatasan waktu
dan lebih memilih untuk ke utara, ke Ambarita. Namun, disinilah saya
sekarang, berkunjung ke Museum Batak Tomok. Museum ini terletak di ujung
perlintasan Pasar Tomok ke arah dalam Makam Sidabutar. Siapkan senyum
dan tolakan kalau anda nggak berminat membeli sesuatu. Hehehe. Niscaya,
dijamin anda akan terus menerus diberondong oleh penawaran oleh-oleh
sepanjang jalan kenangan ini. Hahaha. Museum ini merupakan bentuk utuh
dari sebuah Ruma Bolon, bukan Sopo seperti yang tampak pada lokasi
pertunjukkan Sigale-Gale yach. Bedanya? Ruma adalah untuk tempat
tinggal, namun Sopo biasa dipergunakan sebagai balai pertemuan atau
gedung serbaguna. Dari segi fisik, keduanya tidak begitu berbeda namun
pintu masuk Ruma biasanya tertutup celah bangunan sementara pintu masuk
Sopo lebih terlihat jelas dari luar. Di depan Ruma Bolon yang besar ini,
ada empat buah gazebo yang lengkap dengan tempat duduk yang terbuat
dari batu. Di sisi seberangnya, ada miniatur Batu Parsidangan yang
terbuat dari batuan andesit, tanpa kursi, dengan batu pemancungan dan
kepala sang terdakwa yang dihukum pancung di atas meja. Untung saja,
semua itu terbuat dari batu dan tidak asli, hanya diorama saja. Yang
aslinya ada di Ambarita, Desa Siallagan sana.
Ruma Bolon ini berukuran besar, lengkap dengan gorga dan ornamen khas
Batak seperti empat payudara, cicak (atau tokek?) dan ornamen singa pada
setiap ujung sudut gorga. Sayang, ini sudah bukan Ruma Bolon yang
benar-benar asli sebab bagian bawahnya sudah berupa semen dan di sisi
bangunan ada sayap yang merupakan bangunan tambahan. Walaupun dalamnya
masih asli kayu, namun banyak bagian dari ruma ini sudah dimodifikasi
sedemikian rupa. Mungkin untuk mengantisipasi dari terpaan cuaca dan
kerusakan kali yach? Makanya seiring perjalanan, renovasi dan
“modernisasi” terus dilakukan. Buat yang penasaran seperti apa sich
interior sebuah Ruma Bolon itu, kenapa nggak mencoba saja masuk ke dalam
museum ini?
Hal pertama yang mengejutkan adalah, Museum Batak Tomok ini tidak
membebankan tiket masuk sama sekali. Malah, tidak tampak ada batang
hidung penjaganya sama sekali. Nggak takut koleksinya akan hilang dicuri
kah? Atau sudah ada mistis dan magis tertentu agar benda-benda ini
tidak dapat dicuri? Hihihi. Saya tidak tahu, namun yang jelas, pada saat
kunjungan, saya hanya menemukan sebuah buku tamu dan kotak sumbangan
sukarela bagi setiap pengunjung yang datang. Di depan saya ada sepasang
turis lokal yang sedang mengenakan pakaian adat Batak Toba dan difoto
oleh seseorang yang nampaknya pemandu wisata mereka. Tak lama, mereka
menanggalkan pakaian adat tersebut yang ternyata berasal dari museum ini
dan pergi keluar. Akhirnya, hanya tinggal kami saja di ruangan museum
yang tidak terlalu lebar tersebut. Kalau sendirian, ruangan yang
remang-remang tersebut mungkin agak terasa menyeramkan. Terutama dengan
pencahayaan seadanya dan koleksi-koleksi yang sangat eksotis tersebut.
Untungnya, saya berdua dengan teman saya. Saya jadi punya kesempatan
untuk melihat ini itu dan bahkan, mencoba berpose dengan pakaian adat
Batak Toba yang tersedia! Hore!
Jangan dibayangkan bahwa Museum Batak Tomok ini benar-benar merupakan
museum yang lengkap dengan penjelasan dan koleksinya bervariasi yah.
Jauh panggang dari api, koleksi yang ada di museum ini bisa dikatakan
menyedihkan. Selain ditata dengan sembarangan di atas meja particleboard
(kayaknya merek olymp*c dech), setiap benda koleksi yang dipajang
hampir tidak memiliki keterangan apapun yang memuaskan. Jangankan
keterangan, nama benda tersebut pun tidak disebutkan sama sekali.
Sejumlah benda seperti topeng-topeng yang banyak dipergunakan dalam
ritual Batak Toba, hingga gerabah, peralatan rumah tangga dari batu,
tungkot, dan patung-patung dari batuan andesit tampak memenuhi sebagian
besar koleksi Museum Batak Tomok ini. Di bagian depan, terdapat untaian
beberapa kain Ulos. DI bagian tengah, ada sejumlah benda ukiran dan
koleksi uang Rp. 1.000 tahun 1987 yang bergambar Sisingamangaraja XII
dan uang Rp. 1.000 tahun 1992 yang bergambar Danau Toba serta di
baliknya ada Lompat Batu Pulau Nias yang bersetting di Bawomataluo, Nias
Selatan.
Di bagian sayap kanan bangunan, ada tambahan yang tampaknya difungsikan
sebagai lokasi penjualan cenderamata khas Batak Toba. Lagi-lagi, koleksi
cenderamata ini nggak ada yang menjaga sama sekali. Padahal, kalau
dilihat dari bentuknya, saya jauh lebih tergiur dengan cenderamata
karena warnanya terang serta dipelitur dengan halus untuk beberapa
benda. Benda-benda di bagian cenderamata ini cenderung lebih rapih,
lebih teroganisir, walaupun tidak ada keterangan sama sekali juga.
Benda-benda yang dipajang disini sebagian besar adalah patung-patung
Batak. Namun anda juga bisa menemukan aksara Batak, kalender Batak,
tungkot, dan ukir-ukiran kreatif. Etalase tempat memajang benda-benda
ini pun tetap unik : meja belajar (entah, kayaknya memang merek Olymp*c
dech) yang terbuat dari particle board. Hihihihi. Saya sengaja agak
lamaan berdiam di bagian ini, termasuk megang-megang benda jualan,
ketawa-ketiwi, dan berpose sambil memegang barang jualan, kali-kali yang
punya akan datang. Sayang, itu nggak terwujud. Sampai saya sudah bosan
di dalam museum pun, kurator, penjaga keamanan, atau bagian tiketing dan
panjual souvenir pun tidak ada yang datang. Hmm...benar-benar museum
yang sangat percaya sekali terhadap turis yang berkunjung yach? Atau,
apakah mereka berpikir nggak bakalan ada turis yang akan membeli
souvenir di museum ini lantaran sudah tersaring oleh para penjual yang
berderet di sepanjang jalan? Bisa jadi...
Usai berkunjung, jangan lupa untuk membubuhkan nama anda pada buku tamu
sebagai tanda bahwa anda pernah berkunjung ke tempat ini. Jangan lupa,
berikan sedikit donasi untuk membantu biaya perawatan museum ini. Nah,
kalau cape, duduklah dahulu di gazebo-gazebo yang berderet tepat di
depan museum ini sambil menikmati semilir angin (kalau ada minuman
dingin sich lebih pas lagi). Ada seekor monyet yang dirantai di depan
gazebo ini yang tampaknya dimiliki oleh orang yang menjaga Museum Batak
Tomok ini. Sembari saya menunggu dan memfoto sang monyet dalam berbagai
pose pun, orang yang seharusnya berkepentingan dan bertanggung jawab
untuk Museum Batak Tomok ini tidak tampak sama sekali. Hmm... saya jadi
bingung. Museum ini bertuan apa nggak sich?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar