INFO TERKINI

Rabu, 29 Februari 2012

Gambar Pemandangan Pantai

Wisata Bali Timur

Jika Anda ingin mencari senang di Pulau Dewata, datang saja ke Bali bagian selatan. Di sana ada ingar-bingar Kuta, Legian, hingga pusat Kota Denpasar. Namun, apabila ketenangan yang Anda inginkan, pergilah ke Bali bagian timur. Mulai dari tempat peristirahatan, obyek wisata bernuansa spiritual dan sejarah, hingga aktivitas wisata bahari tersaji di depan mata. Sudah sedemikian lama Bali bagian timur dan utara berada di bawah bayang-bayang Bali bagian selatan, maupun kawasan wisata lain di Bali, seperti Ubud dan Kintamani, di Bali bagian tengah.Padahal, Bali bagian timur punya sejumlah kawasan wisata yang tidak saja elok panoramanya, tetapi juga punya cerita yang tak kalah dibandingkan dengan kawasan wisata lain yang lebih mendunia, seperti Pantai Kuta, Pura Tanah Lot, dan Pura Uluwatu. Di sana antara lain ada Pura Besakih, yang merupakan pura terbesar di Bali, serta tiga istana air (Tirta Gangga, Jungutan, dan Taman Ujung) yang kental dengan nuansa sejarah, berupa taman dan bangunan di atas air yang dibangun oleh Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Ketut, sekitar tahun 1919. Meski harus diakui panoramanya tidak seelok Kuta dan Nusa Dua yang termasyhur karena bibir pantainya yang panjang dan berpasir putih, kawasan Candidasa, sebuah kawasan wisata di Manggis, Karangasem, dengan 300 kamar hotel kelas bintang dan 400 kamar hotel kelas melati, akan menyuguhi wisatawan yang menginap di sana pemandangan lautan di Selat Lombok yang khas. Perairan di sekitar gugusan itu menjadi pusat kegiatan wisata bahari, tentu saja dilengkapi kawasan yang sudah lebih dulu dikenal, yakni Amed dan Tulamben, dua kawasan di ujung timur Pulau Bali. Bupati Karangasem I Wayan Geredek, kepada Kompas di kawasan wisata Candidasa, sehari setelah hari raya Nyepi 2008, mengakui selama ini Karangasem belum dikenal oleh wisatawan domestik ataupun mancanegara. Bahkan, daerah di ujung timur Bali itu seperti terlupakan dalam promosi pariwisata Bali maupun nasional. ”Lihat saja tanda penunjuk jalan atau area wisata, daerah di Bali bagian timur tidak pernah tercantum di sana,” kata Geredek melukiskan daerahnya. Data Badan Pariwisata Bali tahun 2007 mencatat, tingkat hunian hotel di kawasan Candidasa baru sekitar 50 persen, jauh di bawah kawasan lain di Bali yang bisa mencapai 90 persen sepanjang tahun.elabuhan kapal pesiar Salah satu momentum yang tengah ditunggu pemerintah kabupaten dan pelaku pariwisata di Karangasem untuk mengoptimalkan kepariwisataan di sana adalah pembangunan pelabuhan kapal pesiar bertaraf internasional yang diharapkan selesai semester pertama tahun 2009. Pelabuhan itu terletak di Labuhan Amuk, Manggis, sekitar 5 kilometer arah barat kawasan Candidasa. Kawasan itu bersebelahan dengan pelabuhan penyeberangan Padangbai. Menurut Geredek, pelabuhan itu kelak diharapkan dapat secara nyata mengangkat dunia pariwisata Bali bagian timur

Selamat Datang Di Tuk-Tuk Siadong

Tuk-Tuk Siadong, adalah semenanjung yang terletak di sebelah timur Pulau Samosir. Semenanjung kecil ini terletak diantara Desa Tomok dan Desa Ambarita. Kalau anda nggak perhatian banget dengan kondisi jalan, mungkin anda akan melewatkan wilayah ini. Alasan utama orang melewatkan wilayah ini tentunya karena ketiadaan sarana angkutan publik yang menuju Tuk-Tuk Siadong. Ya, angkutan umum lintas Samosir dari Tomok sampai Pangururan dan kembali sama sekali tidak melewati Tuk-Tuk Siadong. Oleh Karena itu, saya memutuskan untuk berjalan kaki mencapai Tuk-Tuk Siadong dari Pelabuhan Orang Tomok daripada menggunakan alternatif lain yang harganya lebih mahal. Pilihan lainnya hanya berupa : ojek, atau mobil carteran. Toh, jaraknya dekat, hitung-hitung sambil menyelami kebudayaan setempat (pada malam hari) hihihi.
Tuk-Tuk Siadong terkenal karena “keturisannya”. Yap, pertama kali memasuki kawasan ini, setelah menembus perbukitan-dan-sawah-entah-dimana, saya terkejut karena saya tiba-tiba teringat pada Bali atau lebih spesifik lagi : Legian dan Kuta. Betul, tempat ini nggak ubahnya kawasan Legian yang tersohor di Bali. Di saat wilayah lain di Samosir sudah menurun aktifitasnya selepas matahari terbenam, di Tuk-Tuk, roda kesibukan berputar hampir 24 jam lamanya. Tengah malam sekalipun, kalau anda kelaparan dan ingin menikmati makanan, anda bisa berkunjung ke warung-warung yang tersedia. Inilah rasa dan konsekuensi kawasan internasional di Tanah Samosir. Selain harga-harga penginapan dan makanan yang mengikuti standard turis asing, penduduk lokalnya (terutama pegawai hotelnya) jauh lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia ataupun Batak. Ngeliat tampang saya aja, mereka segera berceloteh dalam bahasa Inggris (sialnya, bahasa Inggris mereka kayaknya jauh lebih bagus daripada saya, walaupun tercampur dengan aksen Batak).Hahaha. Kalah dech.



Nggak Sengaja Ketemu Museum Simalungun


museum simalungun

Museum Simalungun, ini adalah salah satu objek yang nggak sengaja saya datangi saat berada di Pematang Siantar. Museum ini nggak ada di daftar itinerary saya. Lucunya, saat saya jalan kaki dari Vihara Avalokitesvara melintasi Jalan Jenderal Sudirman menuju ke arah pusat kota, saya malah ketemu dengan Museum Simalungun. Letaknya mudah dijangkau karena berada di tengah kota. Bangunannya diapit oleh dua bangunan besar yaitu Gereja GKPS Sudirman dan Kantor Polres Sudirman. Nggak perlu berpikir panjang dong saya langsung mampir.

Bangunan Museum Simalungun yang terletak di Kota Pematang Siantar ini berbentuk rumah adat yang sangat menarik. Namun jangan dikira bentuknya seperti Rumah Bolon (rumah adat Sumatera Utara) yang banyak di temui di sekitaran Pulau Samosir. Bentuknya sangat berbeda dengan Rumah Bolon. Mungkin bentuk bangunan seperti ini adalah ciri khas bangunan asal Simalungun. Hal yang paling membedakan adalah bentuk atapnya. Sedangkan untuk fungsi bangunannya sepertinya sama saja, berupa rumah panggung yang ruang utamanya ada di lantai dua. Selain pada atap, ornamen-ornamen yang menghiasi bangunan rumah adat ini juga sudah sangat berbeda. Namun warna merah, putih, dan hitam masih sangat mendominasi.

Belum Bisa Menyaksikan Pertunjukan Patung Menari Sigale-Gale



patung sigale-gale

Hanya selemparan batu dari Makam Raja Sidabutar ke arah luar terdapat objek lainnya yaitu Patung Sigale-Gale. Kalau Anda dari arah Pelabuhan Tomok urutan objeknya adalah Patung Sigale-Gale, Makam Raja Sidabutar, dan yang terakhir adalah Museum Batak. Karena Museum Batak saya kunjungi terlebih dahulu jadi urutannya terbalik. Hehe.. Patung Sigale-Gale terdapat persis di depan rumah adat Bolon. Di rumah tersebut terdapat tulisan pemiliknya yaitu T. Sidabutar. Apakah masih keturunan Raja Sidabutar? Nggak tau deh, mungkin iya. Menurut info, yang disebut rumah Bolon itu adalah rumah adat yang berukuran cukup besar dan biasanya dihuni oleh para raja dan keluarganya. Sementara rumah yang lebih kecil disebut Siamporik yang dihuni oleh para bangsawan. Kalau dilihat dari bentuk sepertinya memang nggak ada bedanya sih.

Nah, kalau patung Sigale-Gale adalah nama sebuah boneka dari kayu yang bisa menari. Agak penasaran juga ya, mana ada yang namanya patung bisa menari. Awalnya saya kira patung tersebut bisa menari karena ada hal yang mistis. Ternyata patung ini bisa bergerak dan menari karena digerakkan secara mekanis oleh manusia. Saat melakukan tarian, Sigale-Gale diiringi oleh alunan musik khas Batak Toba yaitu Gondang Mula-Mula, Gondang Somba, dan Gondang Mangaliat.

patung sigale-gale


Makam Raja Sidabutar ke-3, Batu Gajah, Batu Duduk (Tomok / Pulau Samosir); Cantik Namun Mengenaskan

Makam Raja Sidabutar ke-3, Batu Gajah, Batu Duduk (Tomok / Pulau Samosir); Cantik Namun Mengenaskan

Museum Batak Tak Bertuan Di Desa Tomok

Sumatera Utara adalah salah satu negeri dengan koleksi museum kebudayaan terbanyak di Indonesia. Gimana nggak mau banyak coba, untuk museum berkategori “Batak” sendiri saja ada beberapa dan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Sumatera Utara ini.

Sore itu, ketika saya berdiri di tengah-tengah huta (kampung) Siallagan. Rasanya seperti terjebak di suatu masa yang jarum jamnya tidak bergerak sama sekali. Berdiri dibawah pohon Habonaran, diantara batu kursi tempat persidangan, berlatar ruang tahanan yang ada di bawah tangga rumah raja. Lalu lamat-lamat saya seperti mendengar Raja Siallagan dan para tetua desa yang mengadakan sidang di batu sidang itu. Lalu keputusan ditetapkan, tahanan dilepaskan dari pasungan dan dituntun menuju tempat eksekusi yang ada di kampung bagian belakang. Dan disanalah kisah ini bermula..





rumah-adat.jpg
 Komentar 

huta-siallagan.jpg
  

rumah-bolon.jpg
 Komentar 

ulos.jpg
 Komentar 

guardian.jpg
  

rumah-raja.jpg
  

tahanan.jpg
  

pendeta.jpg
  

batu-kursi-depan-rumah-raja.jpg
  

hau habonaran.jpg
  

batu-kursi.jpg
 1 Komentar 

rumah Adat.jpg
  

penjaga.jpg
  

filosofi-cicak-dan-susu-ibu.jpg
 Komentar 

tongkat-kitab-dan-kalender.jpg
  

contoh.jpg
  

meja-sidang.jpg
  

selamat-datang.jpg
  

Sigale-Gale Boneka Mistik Yang Pintar Menari


Sigale-Gale (Tomok / Pulau Samosir); Boneka Mistik Yang Pintar Menari

Sigale-Gale (Tomok / Pulau Samosir); Boneka Mistik Yang Pintar Menari

Sigale-Gale merupakan salah satu kebudayaan Batak Toba yang dibanggakan. Boneka gerak ini menyimpan suatu cerita mistis yang mengagumkan. Dahulu, ada seorang raja, yang memiliki anak bernama Manggale. Dalam sebuah peperangan, Manggale tewas. Sang raja pun menjadi sangat sedih, hingga akhirnya jatuh sakit.
Penasihat kerajaan lalu mencari tabib di seluruh negeri. Seorang tabib mengatakan bahwa raja sakit rindu. Dan untuk mengobatinya sang tabib mengusulkan kepada penasehat kerajaan untuk dibuat suatu upacara di kerajaan itu dan memahat sebuah kayu menyerupai wajah Manggale.

Dalam upacara itu, sang tabib memanggil roh Manggale dan rohnya dimasukkan ke dalam kayu yang dipahat menyerupai wajahnya, kemudian boneka Manggale itu manortor (menari-red) dengan iringan khas musik Batak Toba, yaitu Sordam dan Gondang Sabangunan.
“Patung yang sudah dirasuki Manggale itu menari selama tujuh hari tujuh malam, tetapi pada hari ke delapan patung itu berhenti menari,” tutur J. Sidabutar, pemandu pertunjukkan Sigale-Gale  di daerah Tomok, Pulau Samosir, Sumatera Utara. Dan boneka Manggale yang berhenti manortor itu disebut dengan Sigale-Gale.
Sampai saat ini, Sigale-Gale masih ada di Pulau Samosir, Sumatera Utara dan masih sering dimainkan dengan menggunakan playback musik. Sigale-Gale ini, menjadi salah satu ikon kebudayaan Sumatera Utara yang masih menarik perhatian pengunjung baik dari lokal maupun internasional.
Di Pulau Samosir, Sigale-Gale ini masih dapat dinikmati pertunjukkannya dengan tarif  seiklasnya. Pengunjung juga bisa berfoto dengan Sigale-Gale ini dengan ulos yang disediakan oleh pemilik Sigale-Gale dengan menggunakan kamera pribadi pengunjung.

Makam Raja Sidabutar, yang Terletak di TOMOK Samosir


Di Tano Batak, melihat makam dimana-mana adalah hal yang lumrah. Makam-makam tersebut pun terkadang bukan sekedar sebuah pusara dengan batu nisan saja, namun cukup eksotis hingga berupa tugu, rumah adat, hingga bangunan unik. Kalau anda turun dan hanya bermain di Medan, anda nggak akan melihat makam-makam ini. Namun, begitu memasuki wilayah masyarakat Batak, misalnya anda masuk dari Sibolangit, Deli Serdang atau Pematang Siantar wilayah Simalungun, mata anda mau tidak mau akan mulai terpincut satu dua kali untuk melihat bangunan tidak biasa yang berada di tepi jalan, di sebelah rumah, di pekarangan, dan di tengah sawah. Semakin mendekati wilayah Samosir, terutama di Pulau Samosir atau di Toba Samosir, konsentrasi makam-makam itu akan semakin banyak dan menarik mata. Nggak jarang, makam bahkan bisa menjadi objek wisata yang menarik lantaran bentuk fisik bangunannya yang memikat.
Di Desa Tomok, ada satu kuburan yang terkenal yang sudah biasa banget jadi objek wisata. Kuburan ini adalah Makam Raja Sidabutar, Raja penguasa Tomok. Walaupun bergelar raja, namun kekuasaannya tidaklah mutlak dan absolut yach. Raja disini bisa disamakan dengan kepala desa yang juga berfungsi sebagai kepala adat. Agak susah menemukan kisah Raja Sidabutar ini di belantara internet, namun kalau anda tertarik akan kisahnya, anda bisa minta dipandu oleh pemandu wisata yang biasanya akan menawarakan diri begitu anda tiba di kompleks Makam Raja Sidabutar ini. Penjelasan singkat yang bisa anda temukan di internet adalah Raja Sidabutar adalah orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Tomok. Hmmm... berarti sebelum sampai di Tomok, Raja Sidabutar ini sudah melalui Onan Runggu atau Simanindo donk? Logikanya begitu nggak sich? Kan Orang Batak Toba aslinya berasal dari Gunung Pusuk Buhit, wilayah Sianjur Mula-Mula di barat Samosir, khan? Disebut-sebut pula, Raja Sidabutar yang pertama masih menganut Malim, agama tradisional masyarakat Batak yang kini masih dianut oleh sejumlah kalangan di Tano batak ini dengan pusatnya di Laguboti, Toba Samosir. Hmmm...kalau peristiwa ini sudah lama sekali, mungkin maksudnya bukan Malim tapi Pelebegu kali yach? Karena dikisahkan bahwa ini adalah agama tradisional orang Batak sebelum Kristenisasi terjadi. Mau tahu yang mana makamnya? Lihat saja makam yang masih berupa sarkofagus, biasanya terbuat dari batu utuh tanpa sambungan dan memiliki ukir-ukiran pada tutupnya. Makam Raja Sidabutar adalah makam terbesar yang ada di kompleks ini, lengkap dengan ukiran dan bukan yang berbentuk Ruma Bolon. Mengagumkan yach membayangkan orang jaman dahulu mampu mengukir batu sebesar itu menjadi makam, lengkap dengan ukiran yang konon katanya ukirannya ini mengikuti wajah sang almarhum. Semakin modern makam, anda akan melihat bentuknya lebih sederhana dan memiliki tanda salib apabila telah memeluk agama Nasrani. Makam yang lebih berusia tua biasanya terbuat dari bebatuan, mirip dengan batuan andesit pada lahan vulkanis. Selain Raja Sidabutar dan keturunannya, konon disini juga disemayamkan salah seorang ajudan setia sang Raja yang berasal dari Aceh loch.
Kompleks makam ini tertata dengan rapih, bahkan memiliki semacam tangga masuk dan beranda untuk menerima tamu. Warna merah, hitam dan putih mewarnai hampir seluruh bagian dari kompleks makam, mulai dari warna ukir-ukiran hingga kain yang menutupi bagian atas makam-makam ini. Ya, ketiga warna ini adalah warna suci masyarakat Batak. Unik dan serunya, setiap wisatawan yang hendak memasuki kompleks makam ini diwajibkan untuk mengenakan Ulos baik pria maupun wanita. Cara mengenakannya adalah dengan menyilangkannya di salah satu pundak dan dijuntaikan ke bawah. Agak berbeda dengan Uluwatu di Bali, celana yang memperlihatkan lutut wajib ditutup oleh kain ungu bertali kuning tersebut. Di Tomok, Ulos wajib dikenakan namun tidak ada batasan minimal untuk pakaian wisatawan. Yah, sesopannya saja lah. Nggak mungkin banget donk ke makam trus pakai bikini two pieces? Mau dagang? Hahahaha. Ulos-ulos ini dipinjamkan dengan gratis-tis-tis-tis. Akan sangat diharapkan bahwa anda menyewa pemandu untuk menceritakan sejarah Raja Sidabutar ini. Tempat untuk mendengarkan sejarah ini pun sudah tertata rapih dan berkanopi koq. Nyaman dan santai. Di pintu keluar (tepat di seberang pintu masuk), ada petugas yang bertugas mengumpulkan Ulos pinjaman sembari menghimbau agar para wisatawan mendonasikan beberapa untuk kelestarian dan perawatan Makam Raja Sidabutar ini. Oh ya, di tengah kompleks ada pohon besar yang sudah ditebang dan hanya tinggal pangkalnya saja. Tahun 2007 saat saya berkunjung ke kompleks makam ini, pohon tersebut sudah seperti itu. Dilihat dari diameternya, mungkin ini bekas Pohon Hariara kali yach? Pohon Hariara (beringin) itu pohon suci masyarakat Batak yang biasanya ditanam di tengah-tengah Huta (kampung). Kompleks makam yang tidak begitu luas ini pun dapat dengan mudah anda selesaikan sebelum berkunjung ke lokasi wisata berikutnya.

 

Singgah Sejenak Di Makam Raja Matio Sidabutar Tomok

 

Inilah keuntungan dari menyewa motor selama berada di Samosir alih-alih menggunakan kendaraan umum. Kalau ada objek wisata yang “tidak disangka-sangka” di tengah jalan, saya bisa dengan mudah memutuskan untuk berhenti dan melihat-lihat. Rasanya, kemudahan ini nggak akan didapatkan dengan menaiki kendaraan umum dech. Apalagi, harus menyetop kendaraan yang melaju dengan cepat, lokasi sekitar nggak kelihatan dari dalam, dan harus membayar biaya angkot. Biaya angkotnya sich nggak seberapa. Untuk jarak dekat dari Tomok palingan biayanya Rp. 2.000 – Rp. 3.000 saja. Tapi males juga khan kalau setiap ketemu objek wisata yang unik harus berhenti dan membayar biaya angkot? Mendingan sewa motor kan? Capek sedikit karena mengendarai motor sich tapi terbayar dengan kemudahan berhenti di banyak tempat lho. Apalagi, sepanjang perjalanan di Samosir banyak sekali tugu-tugu makam yang unik. Kalau anda menyukai tugu-tugu unik dan bangunan ajaib, mungkin disinilah tempatnya.
Saya sebenarnya sudah melewati tempat ini di kala malam hari. Namun, karena tidak memiliki penerangan apapun, maka makam ini tidak terlihat sama sekali. Pada siang hari, barulah saya menyadari apa yang saya lewati ini. Ini adalah Makam Ompu Raja Matio Sidabutar. Tulisan di sebelah pintu gerbang adalah Tugu Omp. Raja Matio Sidabutar. N.M. Br. Harianja. dohot : Pinomparna. Mm...sebentar...Sidabutar lagi? Iya, tampaknya ini adalah makam lain dari Raja Sidabutar yang berkuasa di Tomok. Agak berbeda dengan Makam tua Raja Sidabutar yang berada di dekat Pasar Tomok, makam ini tidak terlalu ramai dikunjungi, malah tampaknya saya dan teman sayalah pengunjung satu-satunya pada hari itu! Ya, dengan posisinya yang berada di belokan di pertengahan antara Tomok dan Tuk-Tuk Siadong, rasanya makam ini akan dengan mudahnya terlewatkan. Seperti yang saya bilang tadi, kalau naik angkot, mungkin orang akan malas berhenti-berhenti kali yach? Pintu gerbang makam ini pun setengah tertutup. Saya jadi bertanya-tanya, apakah legal memasukinya? Teman saya tidak ikut masuk karena dia tidak menyukai makam yang benar-benar makam. Apalagi saat itu hanya kamilah pengunjung makam ini. Makin jiper lah dia. Hihihi.
Karena penasaran dan tanggung, akhirnya saya nekad memasuki kompleks makam yang tampaknya tua ini. Kondisi cat bangunan memang tampaknya telah termakan usia dan cuaca cukup banyak. Maklum lah, cat aslinya warnanya kan putih. Penapilan fisik makam ini adalah putih dengan bopeng dan keropeng disana-sini. Namun, benda tertua yang ada di kompleks ini bukanlah bangunan makam melainkan sebuah sarkofagus yang mirip bentuknya dengan sarkofagus di Makam Tua Raja Sidabutar di Pasar Tomok sebelumnya. Saya tidak menemukan referensi apapun mengenai Raja Matio Sidabutar di belantara internet sama sekali. Di kompleks ini pun, tidak ditemukan satu informasi apapun mengenai sejarah orang ini. Sayang sekali. Berhubung hanya satu makam yang resmi diakui dan dibuat plang resmi oleh dinas pariwisata daerah Sumatera Utara, maka saya berkesimpulan sendiri bahwa Raja Matio Sidabutar ini adalah keturunan dari Raja Asli Sidabutar yang pertama kali menjejakkan kaki di Tomok ini. Walaupun keturunan, namun bahan sarkofagus yang digunakan tampaknya sudah berbeda dengan Makam Tua Raja Sidabutar yang berada di Pasar Tomok (walaupun masih berupa makam batu tanpa sambungan dan tampaknya masih menganut Pelebegu). Alih-alih batuan andesit, makam ini terbuat dari batu yang lebih modern dengan warna coklat kekuningan. Bagian yang tampaknya termakan jamur hanyalah bagian kepala sarkofagus yang diukir dengan bentuk muka, yang konon menyerupai sang almarhum yang dikuburkan di dalamnya. Sarkofagus ini berada di atas tanah, di bawah semacam bangunan tanpa dinding dengan atap khas Ruma Bolon Batak Toba. Bangunan ini sudah terbuat seutuhnya dari semen, penuh dengan hiasan cecak dan singa yang menyeringai menyeramkan di pojok-pojok bangunan. Nggak kebayang kalau malam-malam ada di makam ini. Hiii...
Nah, di sebelah bangunan bersarkofagus ini persis ada sebuah bangunan makam yang jauh lebih modern. Makam orang Batak modern biasa mengusung bentuk Ruma Bolon, baik yang kotak sederhana atau yang seperti ini, bertingkat. Dari kemegahan bangunannya, saya sich percaya, keluarga Raja Sidabutar dan keturunannya adalah orang terpandang di Tomok ini. Selayaknya makam, ada sejumlah lubang-lubang yang tampaknya tempat menguburkan jasad mereka yang telah tiada. Jujur saja, saya sich tidak tertarik sama sekali untuk melongok ke dalam lubang-lubang tersebut. Hihihihi. Nah, di depan lubang-lubang yang diberi teralis tersebut ada sejumlah salib yang diberi nama para almarhum. Menariknya, semua yang meninggal di makam ini adalah mereka yang meninggal di penghujung abad 20 hingga awal abad ke 21. Padahal Raja Sidabutar ini menginjak Tomok beratus-ratus tahun yang lalu loch. Artinya, kemungkinan besar yang dimakamkan di tempat ini adalah keturunannya yang kesekian. Dari empat mendiang yang disemayamkan di tempat ini, hanya dua yang masih menyandang boru Sidabutar. Lainnya, sudah menyandang boru Manik dan Naibaho. Salib-salib ini menunjukkan bahwa mendiang telah memeluk agama nasrani, apalagi dengan hiasan salib di pintu persemayaman jenazah. Di setiap salib ada tulisan Tubu, Dison Do Maradian, dan Monding yang masing-masing berarti “lahir”, “meninggal dalam damai(rest in peace)”, dan “meninggal”. Menariknya, bangunan ini memiliki 3 lantai. Entah apa yang merasuki saya tapi saya penasaran untuk naik ke puncak makam. Apalagi, makam ini memiliki akses tangga yang ternyata mudah didaki (mungkin untuk memudahkan peziarah kali yach?). Ya, pertama sich saya sempat ragu untuk naik. Naik nggak yach? Gimana kalau ada yang nggak-nggak di atas sana? Hihihi. Pikiran semacam itu berkecamuk di pikiran saya lantaran ketiadaan pengunjung makam tersebut. Teman saya bahkan tidak berani memasuki kompleks makam dan berjaga di luar saja. Artinya, hanya saya sendiri yang memasuki makam tersebut sendirian. Yah, akhirnya karena rasa penasaran jauh lebih dashyat daripada rasa takut, alhasil saya memberanikan diri untuk menaiki kompleks makam ini. Hohohoho.
Di atas sana, nggak ada yang aneh sih. Selain ada lubang-lubang untuk persemayaman terakhir jenazah, nggak ada hal aneh yang patut ditakuti. Yang paling menyeramkan selain lubang-lubang tersebut mungkin hanyalah arsitektur makam yang penuh dengan ukiran Batak yang berwajah sangat ekspresif dan enigmatik. Secara mengejutkan pula, kondisi lantai atas makam cukup bersih dan tidak ada penumpukan sarang hewan secara berlebihan. Mungkinkah karena makam ini sering diziarahi sehingga cukup rutin dibersihkan? Padahal, ekspektasi saya adalah terdapat sejumlah sarang laba-laba besar yang cukup menakutkan. Nah, di lantai dua ini, saya tiba-tiba ragu kembali untuk naik ke puncak tertinggi. Namun, karena sudah kepalang tanggung, saya memaksakan diri untuk menaiki makam hingga ke lantai tertinggi. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya menyapa teman saya yang berjaga di jalan raya untuk memastikan bahwa saya baik-baik saja. Hehehe. Di puncak tertinggi, tidak ada sesuatu yang mengesankan selain pemandangan Tomok dari ketinggian. Mungkin makam ini adalah salah satu dari bangunan Tomok yang bisa melihat Tomok dari ketinggian. Dari kejauhan pun, Kota Parapat dan resort-resortnya cukup tampak jelas terlihat. Hehehe. Fakta ada sebuah lubang lain di bagian puncak makam dan bentuk atap Ruma Bolon yang berukir unik dan eksotis pun tidak mampu mengalihkan pemandangan cantik tersebut dari tempat ini. Saya kembali melambai-lambaikan tangan kepada teman saya untuk memberitahukan bahwa saya baik-baik saja. Hehehe.
Secara keseluruhan, makam Raja Matio Sidabutar ini terawat dengan rapih dan tergolong cukup baru. Untuk makam baru, semua lantainya tertutup dengan keramik loch, bukan sekedar semen saja. Kesan tidak rapih baru terasa di halaman kompleks makam yang didominasi oleh rerumputan besar dan panjang yang tidak terurus. Padahal saya telah berkeliling bolak-balik, naik-turun makam namun tiada seorang pun penjaga atau petugas yang mendatangi saya atau seorang pun yang sekiranya berjaga di tempat ini. Hihihi. Saya sich nggak yakin-yakin banget bahwa ini adalah objek wisata untuk umum. Namun, menilik dari kondisi pintu gerbang yang setengah tertutup (atau terbuka?), nggak salah donk saya mengasumsikan bahwa masuk makam ini adalah hal yang diijinkan? Kalau anda berjalan dari Tomok menuju Tuk-Tuk Siadong, coba dech perhatikan posisi makam ini yang berada tidak jauh dari Makam Tua Raja Sidabutar yang sebenarnya. Posisi makam ini bahkan berada tepat di pinggir jalan sehingga yang naik angkutan umum pun pasti bisa melihat dengan jelas.

Indahnya Bali Bagian Selatan


Hari ini adalah hari terahir saya di bali,sebelum ahirnya besok siang saya harus kembali pulang ke karawang. Hari ini saya berencana untuk mengexsplorasi bali bagian selatan yang terkenal dengan pantai dan ombaknya yang indah.
Pagi-pagi setelah selesai sarapan,saya menyempatkan diri mengganti beberapa sperpart motor yang rusak di bengkel yang letaknya tak terlalu jauh dari kosanya bang toni. Selesai mengganti beberapa komponen yang rusak,saya kembali ke kuta dan memperlihatkan motor yang sudah saya perbaiki ke orang yang menyewakan motor. Setelah tak ada komplen dari orang yang punya motor,saya kembali melanjutkan perjalanan menuju uluwatu yang akan menjadi tujuan ahir perjalanan saya hari ini. Dari kuta saya harus menempuh jarak sekitar 21 Km untuk sampai di uluwatu,tapi karena saya akan menikmati senja di sana, jadi saya putuskan untuk  menyinggahi objek wisata lain terlebih dahulu di sepanjang jalan menuju uluwatu.

Pilihan  pertama saya jatuh pada pantai dremland yang terletak di daerah pecatu (saya senghaja tidak memasukan pantai nusa dua pada exsplorasi kali ini,karena pantai nusa dua sudah saya kunjungi saat hari pertama saya menginjakan kaki di bali).Dari kuta saya mengambil arah menuju uluwatu mengikut petunjuk arah yang banyak tertera di marga jalan. Ternyata daerah selatan bali itu berupa perbukitan,hal ini terlihat dari jalur menanjak yang harus saya tempuh setelah keluar dari jalan bay pass ngurah rai. Setelah melaju sekitar 30 menit,saya bertemu dengan jalan yang merupakan pintu masuk menuju Garuda Wisnu Kencana (GWK). Namun saya tidak berencana masuk, karena mengngingat harga tiket masuknya yang cukup  mahal (25k / orang). Sekitar 15 menit setelah melewati  pintu masuk GWK,saya melihat ada sebuah pintu masuk menuju kompleks perumahan mewah yang  letaknya di sebelah kanan jalan  (namanya pecatu resort, kalo gak salah). Nah inilah pintu masuk menuju pantai dremland,seperti lajimnya sebuah perumahan. Di gerbang masuk  terdapat beberapa security yang berjaga,tapi jangan khawatir,karena motor bisa melenggang bebas tanpa ada pemerikasaan dari security (yang di periksa hanya mobil saja). Sesampainya di dalam,terdapat jajaran  bangunan mewah di kompleks perumahan ini,di sini tak ada petunjuk jalan yang jelas untuk sampai di pantai dremland. Saya hanya mengikuti beberapa bule yang membawa papan selancar di motornya,dan saya tahu mereka pasti akan ke pantai dremland juga. Sesampainya di  parkiran,saya di pungut bayaran sebesar 5k untuk biyaya masuk dan parkir (tapi tentu saja ini bukan pungutan resmi,karena tak menggunakan karcis dan yang memunguti adalah para satpam di situ).
Dari parkiran,saya harus masih berjalan sekitar 200m sebelum ahirnya sampai di pantai. Sesampainya di pantai saya di suguhkan pemandangan yang luar biasa cantik. Laut  dan langit yang biru,batukarang yang menjulang tinggi,dan suasanan yang begitu sepi di pantai ini. Saat itu hanya ada sekitar 10 orang saja pengunjung di pantai ini(mungkin karena masih pagi,karena saya tiba di sini sekitar pukul 10 pagi). Saya merasa seperti pemilik pantai ini,karena beberapa wisatawan hanya berdiam diri di kursi malas yang memeng banyak tersedia di pingir pantai,meski ada juga yang sedang berenang. Saya mulai menyusuri pantai ke sebelah kiri,di sini terdapat tebing karang tinggi yang menjadi sebuah pembatas pantai. Setelah puas meliahat-lihat pantai di sebelah kiri,saya langkahkan kaki menyusuri pantai ke arah sebaliknya. Melewati bangunan utama berupa restoran dan pos penjaga pantai. Saya berjalan terus menyusuri pantai ini sampai ahirnya kaki saya terhenti ,karena saya berjalan sudah cukup jauh dari pos penjaga pantai dan karena agak  ngeri juga takut kalau-kalau  terjadi apa-apa, mengingat  pantai di sebelah sini sangat sepi (gak lucu dong kalau saya mati ke seret ombak yang tiba-tiba gede,dan tak ada orang yang nyelametin saya. Di tambah lagi saya gak jago renang,hahah *serem banget kan pikiran saya). Jadi saya putuskan berhenti sampai sini saja.
Pantai Dremland

Sambil duduk-duduk menikmati ke indahan pantai ini,mata saya terus  melihat  ke segala penjuru pantai. Dan  saya melihat beberapa batu karang dan bangunan pondasi yang hancur bekas terjangan ombak. Di salah satu sudut terdapat tulisan “dilarang mendirikan bangunan di sini”. Sepertinya jika air laut sedang pasang dan ombak tinggi,pantai ini menghilang tertelan air laut. Hal ini bisa terlihat dari pondasi  bangunan yang hancur berserakan di belakang saya ( saat saya ke sini,jarak pondasi bangunan dengan bibir pantai sekitar 5 meter). Setelah puas berkeliling pantai ahirnya saya putuskan untuk menyudahi kunjungan saya di sini,awalnya ingin mencoba untuk berenang di sini. Namun karena tak membawa baju ganti jadi saya mengurungkan niat itu. Di tambah lagi saya ogah jika harus mengeluarkan kocek 10k cuma untuk bilas (gila mahal bener kan). Dari parkiran, saya arahkan kembali motor menuju jalan uluwatu dan keluar dari komplek pemukiman ini. Tujuan saya berikutnya adalah pantai padang-padang,berbekal informasi yang saya dapat saat bertanya pada seorang ibu penjual minuman di parkiran tadi. Saya pun  mulai menyusuri kembali jalan uluwatu sampai ahirnya saya bertemu dengan sebuah persimpangan jalan yang bertuliskan Labuhan Sait di papan petunjuk arahnya.  Saya arahkan laju motor saya menuju labuhan sait,karena memang ini lah jalan yang menuju pantai padang-padang. Sebelum sampai pantai padang-padang,saya sempat melewati pantai lain (lupa namanya). Dan setelah berkendara sekitar 30 menit,sampailah saya di parkiran pantai padang-padang.
lorong untuk sampai di pantai padang-padang
Untuk mencapai pantai ini, saya harus turun ke bawah meniti beberapa puluh  anak tangga dan melewati lorong sempit yang terbentuk dari dua buah batu karang yang berhimpitan(saking kecilnya lorong,kita harus bergantian/mengalah jika ada orang yang akan naik). Sebenarnya buat saya pantai ini biasa saja,karena hanya berupa sebuah teluk kecil yang di kelilingi bebatuan karang. Tapi bagi para surfer,ini merupakan pantai favorit karena memiliki ombak yang bagus. Saat saya tiba di pantai ini,suasananya sudah sangat ramai dengan bule-bule yang berjemur. Sejauh mata memandang, saya hanya melihat bule-bule yang sedang berbaring menikmati sinar matahari. Sangat sedikit sekali wisatawan lokal di sini,jumlahnya bisa di hitung dengan jari. Dan tak kalah mengejutkan (padahal menyenangkan) adalah,banyak cewe - cewe bule yang hanya mengenakan celanan dalam saja saat berjemur ataupun  berenang (alhamdulilah,,eh astagfiruwloh,,haha).
pantai padang-padang
Cukup lama saya berdiam diri di sini melihat cewe cewe bugil orang-orang yang sedang bermain surfing. Namun sayang, karena ombak yang sudah sekitar 2 minggu ini kurang bagus (berdasar penuturan salah satu penjual minuman),membuat para pemain selancar harus puas dengan ombak kecil sehingga.
Dari pantai padang-padang,saya kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan labuhan sait sampai ahirnya saya tiba di blue poin. Dengan membayar tiket masuk + biayaya parkir 3k,saya sudah bisa masuk dan menikmati pantai ini. Dari parkiran saya berjalan menyusuri cafe-cafe yang di bangun di bebatuan karang dan menuruni puluhan anak tangga. Sepertinya tidak tepat jika saya menyebut  blue poin ini sebagai pantai,karena sama sekali tak ada pantai disini. Tempat ini berupa bongkahan-bongkahan karang yang berbatasan dengan laut yang di jejali berbagai bangunan. Namun demikian, kita bisa juga turun sampai bawah karang untuk sekedar merasakan cipratan ombak dan menginjak pasir putih. Melewati celah-celah karang yang sudah di beri anak tangga.Tempat ini di penuhi wisatawan asing yang bermain surfing,  ada juga turis yang hanya sekedar bersantai di cafe-cafe sembari melihat para pemain surfing.

Blue Poin
Siapkan tenaga yang cukup untuk menjelajah tempat ini,karena butuh tenaga ekstra untuk meniti puluhan anak tangga yang jaraknya cukup tinggi.Dari blue poin,kembali saya arahkan laju motor saya menuju pantai  padang-padang sampai ahirnya saya sampai di pertigaan jalan yang tadi saya lewati. Dan dari sini saya kembali arahkan motor saya menuju uluwatu. Ohya ada hal yang menarik di pantai padang-padang,pantai ini dapat terlihat jelas dari atas sebuah jembatan jalan raya yang menuju blue poin.Sekitar pukul 14:30 saya sudah sampai di uluwatu.

Uluwatu
Sebelum sampai, saya sempatkan dulu makan di warung pingir jalan yang berada di sekitaran jalan uluwatu. Masuk objek wisata uluwatu saya harus membayar 4k sudah termasuk parkir. Dari parkiran,sudah banyak monyet-monyet yang berkeliaran dan meminta makanan dari para pengunjung. Sebelum masuk kawasan pura,saya terlebih dahulu harus menggunakan kain(berbentuk tali) warna kuning yang di ikatkan di pinggang,dan jika celana pengunjung terlalu pendek,biasanya akan di suruh memakai kain yang agak lebar berwarna ungu yang juga di ikatkan ke pinggang membentuk seperti sarung, kain-kain ini di pinjamkan secara gratis.Dari pintu gerbang,saya dan beberapa pengunjung lainya mulai menyusuri jalanan yang sudah di beton, sisi kiri dan kanan jalan berupa  semak belukar. Bagi pengunjung yang ingin memberi makan monyet-monyet ini juga bisa,kita tinggal membeli saja beberapa pisang yang di jual di tempat peminjaman kain. Sore itu,banyak wisatawan yang sedang berkumpul  di sekitaran pura sambil menyaksikan tingkah monyet-monyet yang lucu . Meski saya sangat takut monyet,namun saya mencoba memberanikan diri mendekati pura. Berbekal dua wisatawan asing dan guide yang sedang memandu mereka,saya mencoba mendekati pura dengan  mengikuti mereka dari belakang (lumayan lah, gratis dan bebas dari ganguan monyet,haha). Monyet yang ada di pura ini banyak sekali dengan berbagai usia,dari yang masih bayi sampai monyet yang udah tua banget (nah yang ini serem banget mukanya). Belum terlalu lama saya di sana,tiba-tiba terdengar suara teriakan kaget dari seorang nenek warga negara korea (sepertinya) yang  sendalnya di ambil monyet (padahal sendalnya lagi di pake,tapi di rebut sama monyet). Tapi tenang,setelah itu ada sang pahlawan(penjaga pura/pawang monyet/entahlah) yang menyelamatkan sendal si nenek tadi,tapi tentu saja  tidak gratis. Sang pawang itu memberi moyet sebungkus anggur dan menukarnya dengan sendal itu dan si nenek harus memberi beberapa ribu pada pawang itu untuk biyaya anggur yang di berikan pada monyet. Banyak orang yang menilai hal ini adalah ulah pawang monyet yang senghaja melatih monyet-monyet di sini untuk mengambil barang-barang milik pengunjung,sehingga pengunjung harus membayar sejumlah uang ke pawang tersebut jika ingin barangnya kembali. Tapi saya tak tau itu benar atau tidak,silahkan anda nilai sendiri. Yang jelas saat berkunjung ke uluwatu,pastikan anda tidak menggunakan kaca mata,perhiasan,topi,bando atau apapun itu yang mudah di ambil oleh monyet. Dan pastikan barang-barang yang anda bawa selalu dalam pengawasan.
pura Uluwatu
Pura uluwatu ini tidak lebih bagus jika  di bandingkan dengan  pura tanah lot/pura yang lainya, yang membuatnya istimewa adalah karena lataknya yang di atas tebing yang langsung berbatasan dengan samudra hindia. Dari pura ini, saya berjalan ke arah kiri menyusuri pinggir tebing yang sudah di beri pagar pembatas.
Saya terus berjalan melewati bangunan yang di gunakan untuk pertunjukan tari kecak,sampai di ujung tebing saya bertemu dengan sebuah warung penjual minuman yang di jaga ibu-ibu yang sedang sibuk membuat kerajinan tangan berupa gelang dari manik-manik. Saya cukup lama berdiam di sini sambil mengobrol dengan ibu yang ramah ini (gak tau namanya). Di sini saya baru berani mengeluarkan tripot saya untuk sekedar berfoto dengan background tebing dan laut, karena di sini tidak ada monyet. Saat hari semakin sore saya kembali berjalan ke arah pura untuk menikmati sunset di ujung tebing yang satunya,saat saya melewati bangunan pertunjukan tari kecak,rupanya sedang berlangsung pertunjukan tarian kecaknya. Tapi untuk menyaksikan pertunjukan ini,kita harus membayar sekitar 75k/ orang,tentu saja saya ogah mengeluarkan 75k untuk menyaksikan pertunjukan tersebut,,haha.
Setelah sampai pura,kembali saya menyusuri pinggiran tebing ke arah kanan (menuju arah pintu masuk/keluar ) yang juga sudah di pagari pagar beton.Sesampainya di ujung tebing,saya di sambut dengan puluhan monyet yang juga lagi nunggu sunset kayaknya,haha. Tapi untunglah di sini banyak juga wisatawan lain dan beberapa guid yang memandu mereka. Semakin lama,matahari semakin condong dan langit semakin merona jingga. Dari atas tebing  saya dapat menyaksikan beberapa buah kapal nelayan yang sepertinya akan melaut. Tak hanya itu,saya juga melihat beberapa lumba-lumba yang melompat-lompat seolah tahu sedang di perhatikan. Matahari semakin turun,kilat lampu kamera terus bergantian  bersinar dari beberapa wisatawan,tak terkecuali saya. Namun monyet-monyet yang bertengkar/ monyet-monyet yang mengganggu pengunjung di sini membuat saya tak terlalu khusuk menikmati senja di sini (bawaannya was-was terus,haha).
Saat matahari sudah lenyap di telan samudra,saya  meninggalkan tebing ini dan kembali ke parkiran untuk kemudian pulang ke denpasar,tapi tak lupa sebelumnya saya kembalikan kain pinjamannya.

Ke esokan harinya,sekitar pukul 10 pagi saya berpamitan dengan bang toni,karena saya akan pulang. Ahirnya,,setelah backpacking selama 2 minggu,menjelajah bali dan lombok saya pulang juga,hehe. Dari denpasar saya menuju kuta untuk mengembalikan motor sewaan. Dari kuta saya menuju bandara I Gusti Ngurahray Bali dengan menggunakan jasa ojek dengan tarif 20k. Dan sekitar pukul 14 ,pesawat yang saya tumpangi take off meninggalkan pulau dewata. Semoga suatu saat bisa menginjakan kaki kembali ke pulau ini,,,Amin.
#terimakasih banyak buat bang toni yang sudah menampung saya selama di bali, dan terimakasih juga buat mas rizky yang sudah menjemput saya di bandara dan mengajak berkeliling nusa dua. Ke baikan kalian ber dua akan saya ingat selalu. :)

www.trimo-situmorang.blogspot.com

"TUNJUKAN KREASIMU" _ JANGAN PERNAH MENYERAH _
- - - - - - - -