Obyek
wisata dapat dibedakan atas beberapa bagian berdasarkan proses
terbentuknya, disini saya hanya menyampaikan 2 bagian saja, yaitu yang
pertama adalah obyek wisata alam, dan kedua adalah obyek wisata budaya.
Saya ambil 2 contoh obyek wisata alam yaitu Danau Toba dan Danau
Sidihoni. Dan 5 contoh obyek wisata budaya, yaitu makanan khas,aksara
daerah, tari daerah,pakaian daerah,dan rumah adat
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Jika pulau Samosir dikatakan sebagai "pulau di atas pulau", danau Sidihoni yang berada di Pulau Samosir ini bisa dikatakan sebagai "danau di atas danau" (di atas danau Toba).
Air danau ini sering berubah warnanya, dan menurut penduduk setempat perubahan warna ini seringkali dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia.
Menurut masyarakat setempat, air danau tersebut surut pada waktu gempa Nias beberapa waktu lalu. Air danau yang dulu menutup dataran tersebut, memang terlihat dangkal. Tidak ada yang tahu ke mana air itu menghilang.
Danau Sidihoni yang berjarak 8 kilometer dari Pangururan ini cukup indah. Pemandangan di sekitar danau bisa dipantulkan oleh air danau. Dikelilingi oleh bukit landai berwarna hijau muda dan deretan pohon pinus, semakin menambah keindahan. Sayang, danau berair jernih ini belum dikelola dengan baik.
Sebagian besar penduduk di sekitar danau masih memanfaatkan airnya untuk fasilitas "mandi cuci kakus" (MCK). Terbatasnya sarana prasarana transportasi juga membuat obyek wisata ini jarang mendapat kunjungan wisatawan.
Ternyata danau Sidihoni bukanlah satu-satunya danau di Pulau Samosir, ada sebuah danau lagi yang lebih kecil dari Danau Sidihoni di pulau ini yang bernama Danau Aek Natonang. Danau Aek Natonang terletak di Desa Tanjungan, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir, Sumatera Utara.
Bumbu Halus :6 buah cabai merah (bisa ditambah jika suka pedas)10 buah bawang merah7 siung bawang putih6 cm jahe6 butir kemiri1 sdt andaliman10 cm kunyitgaram secukupnya
Cara membuat:1. Lumuri ikan dengan bumbu halus, masukkan sebagian serai ke perut ikan. Sisa serai digunakan sebagai alas wajan.2. Letakkan ikan dan lengkuas di atas serai lalu tuangi air asam, biarkan air meresep kemudian tambahkan air. Tutup wajan dan masak diatas api sedang/kecil hingga air mengering.
Sistem tradisi penulisan didalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13,dengan aksara yang mungkin berasal dari aksara Jawa Kuna, melalui aksara Sumatera Kuna. Aksara ini bersifat silabis artinya tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis. Jumlah lambang /tanda itu sebanyak 19 buah huruf yang disebut juga induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf.
Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.
Tari to-tor adalah tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik (Margondang) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain. Menurut sejarahnya tari tor-tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan. Jenis tari tor-tor pun berbeda-beda, ada yang dinamakan tortor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut. Ada juga tor-tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Kemudian tor-tor Tunggal Panaluan merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tanggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Banua Gijjang (Dunia Atas), Banua Tonga (Dunia Tengah) dan Banua Toru (Dunia bawah) Tor-Tor pada jaman sekarang untuk orang Batak tidak lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi menjadi sebuah seni karena Tor-Tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Batak.
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Jika pulau Samosir dikatakan sebagai "pulau di atas pulau", danau Sidihoni yang berada di Pulau Samosir ini bisa dikatakan sebagai "danau di atas danau" (di atas danau Toba).
Air danau ini sering berubah warnanya, dan menurut penduduk setempat perubahan warna ini seringkali dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia.
Menurut masyarakat setempat, air danau tersebut surut pada waktu gempa Nias beberapa waktu lalu. Air danau yang dulu menutup dataran tersebut, memang terlihat dangkal. Tidak ada yang tahu ke mana air itu menghilang.
Danau Sidihoni yang berjarak 8 kilometer dari Pangururan ini cukup indah. Pemandangan di sekitar danau bisa dipantulkan oleh air danau. Dikelilingi oleh bukit landai berwarna hijau muda dan deretan pohon pinus, semakin menambah keindahan. Sayang, danau berair jernih ini belum dikelola dengan baik.
Sebagian besar penduduk di sekitar danau masih memanfaatkan airnya untuk fasilitas "mandi cuci kakus" (MCK). Terbatasnya sarana prasarana transportasi juga membuat obyek wisata ini jarang mendapat kunjungan wisatawan.
Ternyata danau Sidihoni bukanlah satu-satunya danau di Pulau Samosir, ada sebuah danau lagi yang lebih kecil dari Danau Sidihoni di pulau ini yang bernama Danau Aek Natonang. Danau Aek Natonang terletak di Desa Tanjungan, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir, Sumatera Utara.
Ikan mas arsik juga sering disajikan dalam pesta adata batak
Bahan :
1 kg ikan mas/ikan gabus, bersihkan dan buang insangnya, tidak dibuang sisiknya
25 batang serai, memarkan
50 gr bawang batak (lokio), bersihkan
1 sdm air asam jawa, larutkan dengan 250 ml air
3 cm lengkuas, memarkan
1000 ml air
Bumbu Halus :
6 buah cabai merah (bisa ditambah jika suka pedas)
10 buah bawang merah
7 siung bawang putih
6 cm jahe
6 butir kemiri
1 sdt andaliman
10 cm kunyit
garam secukupnya
Cara membuat:
1. Lumuri ikan dengan bumbu halus, masukkan sebagian serai ke perut ikan. Sisa serai digunakan sebagai alas wajan.
2.
Letakkan ikan dan lengkuas di atas serai lalu tuangi air asam, biarkan
air meresep kemudian tambahkan air. Tutup wajan dan masak diatas api
sedang/kecil hingga air mengering.
Bahan :1 kg ikan mas/ikan gabus,
bersihkan dan buang insangnya, tidak dibuang sisiknya25 batang serai,
memarkan50 gr bawang batak (lokio), bersihkan1 sdm air asam jawa,
larutkan dengan 250 ml air3 cm lengkuas, memarkan1000 ml airBumbu Halus :6 buah cabai merah (bisa ditambah jika suka pedas)10 buah bawang merah7 siung bawang putih6 cm jahe6 butir kemiri1 sdt andaliman10 cm kunyitgaram secukupnya
Cara membuat:1. Lumuri ikan dengan bumbu halus, masukkan sebagian serai ke perut ikan. Sisa serai digunakan sebagai alas wajan.2. Letakkan ikan dan lengkuas di atas serai lalu tuangi air asam, biarkan air meresep kemudian tambahkan air. Tutup wajan dan masak diatas api sedang/kecil hingga air mengering.
Sistem tradisi penulisan didalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13,dengan aksara yang mungkin berasal dari aksara Jawa Kuna, melalui aksara Sumatera Kuna. Aksara ini bersifat silabis artinya tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis. Jumlah lambang /tanda itu sebanyak 19 buah huruf yang disebut juga induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf.
Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.
Tari to-tor adalah tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik (Margondang) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain. Menurut sejarahnya tari tor-tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan. Jenis tari tor-tor pun berbeda-beda, ada yang dinamakan tortor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut. Ada juga tor-tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Kemudian tor-tor Tunggal Panaluan merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tanggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Banua Gijjang (Dunia Atas), Banua Tonga (Dunia Tengah) dan Banua Toru (Dunia bawah) Tor-Tor pada jaman sekarang untuk orang Batak tidak lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi menjadi sebuah seni karena Tor-Tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Batak.
Rumah
adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan
berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya
sarat dengan nilai filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman
hidup.
Beragam
pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat
tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan
hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan
antar individu.
Dalam kesempatan ini akan
dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya sebagai bentuk
cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya,
agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu
dan cinta terhadap budayanya.
Proses Mendirikan Rumah.
Sebelum
mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang
diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan
yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan,
parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong
boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu
paung dan sebagainya yang diperlukan.
Dalam
melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan
dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai
“marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah
bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya
diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah
disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah
dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk
“Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang
dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan
kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok
oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu
yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”.
Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang
seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan
“si tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yang
dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat)
adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah
satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah
penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat
maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam
falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan
dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak
disitu langit jungjung.
Pondasi dibuat dalam
formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain.
Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari
“pandingdingan” yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang
mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan
dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing”
sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna”
dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan
landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri
dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut,
dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni
rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang
harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung
rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang
ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh
“sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor
dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu
diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya
tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut
termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan
dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah
atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol
dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang
layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi
Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam
bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.
Di
sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan
menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya,
seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati
termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam
hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang
patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan
disimpan dalam hati�.
“Ombis-ombis” terletak
disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan.
Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank.
Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang
terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian
orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan
manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan
kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari
sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.
Pemanfaatan Ruangan
Pada
bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian
Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka
dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan
“gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah
sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
Untuk
menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat
tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”.
Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar
melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan”
yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau
perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di
sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon)
dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi
yang empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat
“pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan
sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah
selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor
di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yang
disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi,
biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu
lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni
rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai
“Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
Melintang
di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang
kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para�para
dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan
seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu
ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan”
yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat
menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena
sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk
masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah
depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga
untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah
yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada
kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila
tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering
dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang
senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut
ramah. Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.
Gorga
Disebelah
depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang disebut
dengan “gorga” dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur
borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.
Gorga
itu dihiasi (dicat) dengan tlga warna yaitu wama merah (narara), putih
(nabontar) dan hitam (nabirong). Warna merah melambangkan ilmu
pengetahuan dan kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih
melambangkan ketulusan dan kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam
melambangkan kerajaan dan kewibawaan yang berbuah kepemimpinan.
Sebelum
orang Batak mengenal cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga mereka
memakai “batu hula” untuk warna merah, untuk warna putih digunakan
“tano buro” (sejenis tanah liat tapi berwana putih), dan untuk warna
hitam didapat dengan mengambil minyak buah jarak yang dibakar sampai
gosong. Sedangkan untuk perekatnya digunakan air taji dari jenis beras
yang bernama Beras Siputo.
Disamping
gorga, rumah Batak juga dilengkapi dengan ukiran lain yang dikenal
sebagai “singa-singa”, suatu lambang yang mengartikan bahwa penghuni
rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai
rnanusia berbudaya. Singa-singa berasal dari gambaran “sihapor”
(belalang) yang diukir menjadi bentuk patung dan ditempatkan di sebelah
depan rumah tersebut. Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor
lunjung untuk singa-singa Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.
Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan “Metmet pe sihapor lunjung di jujung do uluna”
yang artinya bahwa meskipun kondisi dan status sosial pemilik rumah
tidak terlalu beruntung namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga
integritas dan citra nama baiknya.
Perabot Penting
Berbagai
bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah
“ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan
beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi”.
Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah
lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh
generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan” adalah sebagai
tempat air untuk keperluan memasak.
Di sebelah
bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan
dibuat “pangumbari” yang gunanya sebagai tempat meletakkan
barang-barang yang diperlukan sehari-hari seperti kain, tikar dan
lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya adalah “Ni buat silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali”.
Untuk menyimpan barang-barang yang
bernilai tinggi dan mempunyai harga yang mahal biasanya disimpan dalam
“hombung”, seperti sere (emas), perak, ringgit (mata uang sebagai alat
penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi
pangko, ragi harangan, ragi huting, marmjam sisi, runjat, pinunsaan,
jugia so pipot dan beraneka ragam jenis tati-tali seperti tutur-tutur,
padang ursa, tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu pege dan lain
sebagainya.
Karena orang Batak mempunyai
karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di kala penghuni rumah
meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada
acara yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini
disebut dengan “ungkap hombung” yang disaksikan oleh pihak hula-hula.
Untuk
keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan
barang-barang yang disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama
dengan hombung hanya saja ukurannya lebih kecil dan tidak semewah
hombung.
Sebagai tungku memasak biasanya
terdiri dari beberapa buah batu yang disebut “dalihan”. Biasanya ini
terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak menjadi dua,
sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.
Banyak
julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang
kesudiannya untuk menerima tamu dengan hati yang senang yaitu “paramak so balunon”
yang berarti bahwa “amak” (tikar) yang berfungsi sebagai tempat duduk
bagi tamu terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut
digunakan sudah datang tamu yang lain lagi.
“Partataring so ra mintop”
menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu mempunyai bara api
tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit
dan siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.
“Parsangkalan so mahiang”
menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal mungkin untuk
memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang
biasanya dari daging ternak.
Untuk itu semua
maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi untuk dapat
hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian
yang memadai, sehingga disebut “Parrambuan so ra marsik”.
Tikar
yang disebut “amak” adalah benda yang penting bagi orang Batak.
Berfungsi untuk alas tidur dan sebagai penghangat badan yang dinamai
bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang mengatakan “Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum marbere”.
Jenis
lain dari tikar adalah rere yang khusus untuk digunakan sebagai alas
tempat duduk sehari-hari dan bila sudah usang maka digunakan menjadi
“pangarerean” sebagai dasar dari membentuk “luhutan” yaitu kumpulan
padi yang baru disabit dan dibentuk bundar. Tentang hal ini ada
ungkapan yang mengatakan “Sala mandasor sega luhutan” di mana
pengertiannya adalah bahwa jika salah dalam perencanaan maka akibatnya
tujuan dapat menjadi terbengkalai.
Penutup
Nilai
budaya itu sangat perlu dilestarikan dan hendaknya dapat ditempatkan
sebagai dasar filosofi sebagai pandangan hidup bagi generasi penerus
kelak. Ada pendapat yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah
bangsa yang dapat menghargai budayanya, karena itu Bangso Batak perlu
menjaga citra dan jati dirinya agar keberadaannya tetap mendapat tempat
dalam pergaulan hubungan yang harmonis.
Penulis
juga mengakui bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna maka segala
bentuk saran dan masukan yang sifatnya membangun akan diterima dengan
senang hati, Kiranya Tuhan memberkati kita semua. HORAS